Decision Making - Representativeness Heuristic



Ketika membuat keputusan, tidak seperti dalam penalaran, kita tidak menggunakan aturan-aturan yang ditetapkan, bahkan kita juga seringkali tidak mengetahui apakah keputusan yang diambil benar atau salah. Seperti misalnya pertimbangan keputusan mengenai apakah setelah lulus kuliah akan langsung menikah atau mencari pekerjaan terlebih dahulu.
Pada bagian ini lebih ditekankan pada decision-making heuristics, yangmana heuristik merupakan strategi umum yang biasanya menghasilkan solusi yang benar. Ada tiga pembagian klasik dari decision-making heuristics yaitu representativeness, availibility, dan achoring and adjustment heuristic.

Representativeness Heuristic
Sebuah sampel dikatakan representatif apabila ia memiliki kemiripan dengan ciri utama populasi darimana data tersebut diambil. Contohnya, apabila sebuah sampel dipilih dengan menggunakan random sampling, maka sampel tersebut harus terlihat acak agar sampel tersebut dikatakan representatif sehingga ketika diadakan suatu undian koin sebanyak enam kali, orang-orang cenderung untuk memilih urutan yang lebih acak, yaitu G A A G A G, dibandingkan G G G A A A. Kecenderungan tersebut diakibatkan oleh proses kognisi manusia yang memiliki kemampuan luar biasa dalam mengases kemiripan, dan kemampuan tersebut terakses dengan menggunakan representativeness heuristic. Kekurangan dari penggunaan representativeness heuristics ini adalah kurangnya dipertimbangkan informasi statistik, seperti ukuran sampel, dan base-rate.

Sample Size and Representativeness
Pada kenyataannya, ukuran sampel merupakan karakteristik utama yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan. Namun sayangnya, pemprosesan heuristic seringkali gagal memperhatikan hal ini. Penelitian yang dilakukan oleh Kahneman dan Tversky (1972) terhadap student college mengenai kemungkinan rumah sakit mana yang berpeluang dimana setiap harinya 50% bayi yang lahir adalah laki-laki, rumah sakit kecil (15 bayi lahir per hari) atau rumah sakit besar (45 bayi lahir per hari), menunjukkan bahwa 56% partisipan mengatakan bahwa kemungkinan itu sama besar. Terlihat mereka tidak mempertimbangkan ukuran sampel di kedua rumah sakit tersebut. Oleh karena itu, Tversky dan Kahnemann (1971) mengatakan bahwa kita harus meyakini adanya law of large number, yangmana sampel yang besar lebih merepresentasikan populasi darimana sampel tersebut diambil. Sedangkan pada nyatanya, kita seringkali terlibat dalam small-sample fallacy, yang menganggap sebaliknya. Padahal hal tersebut dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang salah.

Base Rate and Representativeness
Informasi statistikal lainnya yang sering tidak diperhatikan adalah base-rate atau seberapa sering suatu item muncul dalam populasi. Percobaan yang dilakukan oleh Tversky dan Kahnemann (1973) menunjukkan bahwa orang-orang bersandar pada hal yang merepresentatifkan ketika menilai suatu kategori membership sehingga tidak mempertimbangkan base rate. Mereka menilai kecenderungan deskripsi yang dimunculkan sebagai seorang engineer karena dalam deskripsi tersebut muncul kalimat yang merujuk tidak pada lawyer, padahal proporsi engineer hanya 30 orang, dibandingkan 70 lawyer. Percobaan Tversky dan Kahnemann (1973) menunjukkan keterkaitan dengan teorema Bayes, yang menyatakan bahwa penilaian seharusnya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu base rate dan likelihood ratio. Likelihood ratio mengira-ngira apakah deskripsi item lebih cenderung merepresentasikan populasi A atau populasi B, seperti dalam percobaan di atas, yangmana responden menemukan bahwa deskripsi tersebut lebih cenderung menjelaskan engineer dibandingkan lawyer.

The Conjunction Fallacy and Representativeness
Tversky dan Kahnemann (1983) juga mengadakan suatu percobaan mengenai conjunction fallacy. Mereka memberikan deskripsi mengenai Linda ke tiga kelompok yang memiliki pemahaman statistika yang berbeda, yaitu statistic naives, statistic first-grade, dan  statistic doctoral students. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga kelompok tersebut lebih menyatakan Linda sebagai bank teller juga aktivis pergerakan feminis, dibandingkan hanya bank teller saja sehingga dinyatakan bahwa orang seringkali terlibat dalam conjunction fallacy karena secara matematis, sebenarnya pilihan tersebut terlihat tidak memungkinkan. Conjunction rule menyatakan bahwa peluang dari gabungan dua kejadian tidak bisa lebih besar dibandingkan kemungkinan kejadian konstituen itu sendiri. Contohnya dalam kasus Linda, proporsi bank teller lebih besar dibandingkan bank teller yang aktif dalam gerakan feminis (ada bank teller yang tidak aktif dalam pergerakan, atau aktif dalam pergerakan lain). Namun, kita memilih pilihan kedua, bank teller yang aktif dalam gerakan feminis, karena memiliki rincian tambahan yang membuatnya terlihat lebih merepresentasikan item yang dideskripsikan. Conjunction fallacy menjadi lebih kuat ketika karakteristik pertama tidak sekuat karakteristik kedua dalam merepresentasikan item.

sumber: Cognition 6ed, Matlin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persepsi Bicara

Top-Down Processing and Visual Object Recognition

Arboretum Unpad: Botanical Garden Kampus Jatinangor