Arsenal FC, The Wonderful Lesson
FORWARD, ARSENAL FC - VICTORIA CONCORDIA CRESCIT ...
Kalimat itulah yang kini sering saya gaungkan sebagai bentuk dukungan terhadap salah satu klub London Utara yang diarsiteki oleh pelatih luar biasa yang bernama Arsene Wenger.
Saya sendiri tak mengerti mengapa Arsenal menjadi satu-satunya klub sepakbola yang mampu memberikan saya banyak pelajaran, membuat saya mampu menambatkan hati hanya pada satu pilihan, hha.
Sejak kecil, saya memang sudah jatuh cinta pada olahraga yg satu ini.
Siapa yang tak kenal serial kartun Captain Tsubasa?
Ya, dialah tokoh yang berhasil mengajak saya terjun ke dunia yang awalnya terkenal sebagai milik para lelaki.
Masih terekam jelas saat itu, kelas 4 SD, rambut saya dicepak tukung macam Dora the Explorer, saya sempat dijuluki Rohaye. (Ingat TV series yang menceritakan perempuan penggila bola hingga mencukur rambutnya menyerupai Ronaldo bukan CR7 yaa? hhe).
Julukan itu tertancap pada diri saya, sejak pertandingan yangmana saya mampu menyeimbangkan permainan melawan para anak laki yang lebih sering main bola. *hebatnya urang, hhe*
Sliding tackle. Itulah passion yang saya miliki saat itu. Posisi saya selalu menjadi bek, kenapa? karena saya tak ingin gawang tim kebobolan. *kenapa gak sekalian jadi keeper? karena saya gak mau jungkir balik, hha*
Sejak saat itulah aku bersahabat dengan sepakbola..
Namun menginjak SMP, sepakbola seakan menghilang dari kehidupan saya. Selain karena tidak adanya waktu untuk bermain, nampaknya tidak ada juga teman perempuan yang juga menganggap sepakbola itu indah.
Ia kembali menancapkan pesonanya karena EuroCup2008. Saat itu juga, saya menemukan ia, teman perempuan yang juga addict pada sepakbola yang satu ini. Ia pendukung Portugal, ya, apa lagi jika bukan gara-gara, (yang katanya ganteng) Cristiano Ronaldo. Saking gilanya pada sepakbola, kami tak segan membeli dan mengumpulkan poster dan koran tentang idola tersayang. Lebih gilanya lagi, saya sampai membuat kliping yang isinya berita Euro timnas Spanyol, sampai-sampai abang fotokopian tempat saya menjilid, menertawakan kegilaan tersebut. -,-
Sebuah awal yang tak pernah saya sangka menjadi awal baru dari kisah cinta yang lebih dalam pada sepakbola, hha.
Padahal, awalnya justru saya merasa terganggu dengan event akbar yang satu ini, masih jelas teringat celaan yang pernah saya lontarkan ketika melihat berita jalan "David Villa mencetak hattrick untuk kemenangan Spanyol",
“Aah.. Yang kayak gitu doang diberitain.. Ga penting..”
Tapi tiba-tiba saja, setelah melihat salah satu pertandingan timnas Spanyol, kecintaan saya pada sepakbola kembali muncul. Awalnya memang karena pemain, He is David Villa, pemain yang awalnya saya cela, pemain pertama yang saya kagumi. ckckkc.. *ketulah rupanya.
Apalagi pada tahun pertamanya cinta itu kembali, *asik* Spanyol berhasil memenangi Piala Eropa untuk pertama kalinya sejak 1944. Sungguh, Spanyol tidak mengecewakan cinta saya. Hha
Namun, pada saat itu kemampuan saya dalam bermain bola agaknya menghilang. Parah, titisan Rohaye tak mampu melakukan tendangan pinalti yang tanpa penjaga gawang.
Usai Euro08, saya jatuh cinta pada Cesc Fabregas. Nah, karena ialah, saya mengenal Arsenal.
Walaupun pada awalnya saya adalah supporter yang angin-anginan. Masih ingat cedera panjang Cesc, yang sampai empat bulan?
Dalam jeda waktu itu, saya sempat berpaling pada Liverpool, Real Madrid, hingga Manchester United. Bahkan, gilanya lagi, saya sempat membeli kartu 3 yang berhadiah gantungan MU -,-
Entahlah, gantungan itu telah menghilang seiring dengan tumbuhnya kesetiaan saya pada satu klub London Utara, Arsenal FC. :)
Hebatnya lagi, hehe, sejak resmi menjadi supporter setia The Gunners pada 2009, kemampuan sepakbola saya meningkat drastis. Tak bermaksud sombong, hha, saya hampir tak pernah absen mencetak gol ketika bermain. Bedanya dengan masanya SD dulu, kini posisi saya sebagai striker, pertahanan terbaik adalah mencetak gol sebanyak mungkin, hahaha.
Arsenal mengajari saya banyak hal.
Dimana saya harus belajar mengontrol emosi, tetap setia, pantang menyerah, dan banyak lagi.
Namun, yang sangat saya sesalkan adalah masih banyaknya fans Arsenal yang masih sulit untuk mengontrol emosinya. Makian-makian agaknya sering terlontar dari mereka, yang saya khawatirkan, mungkin karena itulah hingga saat ini Arsenal masih dahaga gelar. Bukankah Allah swt. pernah berfirman bahwa apa yang kau ucapkan pada orang lain akan berbalik pada dirimu sendiri.
Ya, mengubah orang lain sangatlah sulit, saya hanya ingin terus berusaha untuk selalu berpikir positif pada klub lain untuk Arsenal. Saya hanya bisa mengatakan, "Apalah gunanya mencela klub lain? Apakah dengan mencela dan memaki mereka itu bisa menaikkan prestasi Arsenal?"
Selain itu, yang paling menyakitkan adalah makian yang terlontar untuk pemain Arsenal sendiri.
"Bagaimana rasanya jika kita berada pada posisinya?" Pasti sakit, ditusuk oleh keluarga sendiri.
Sungguh, satu-satunya yang mereka butuhkan adalah kepercayaan dari fans, bukan malah makian. Bukankah lebih indah jika menggunakan kata-kata penyemangat dibandingkan dengan makian-makian kotor?
Ada saatnya mereka jatuh, maka bersabarlah. Biar bagaimanapun, mereka mencintai Arsenal. Bahkan, mungkin lebih dari cinta kita pada Arsenal, The Pride of London and The pride will never subside.
Arsenal jugalah yang membuat saya berani bukan hanya bermimpi. Ya, mengunjungi stadion kebanggaan seantero Gooner/ettes di seluruh dunia, Emirates Stadium, merupakan cita-cita terbesar saya selain melanjutkan studi di Perancis.
Saya juga belajar bagaimana untuk setia dan sabar, terlebih saat Arsenal benar-benar diguncang. Kekalahan, draw, seakan melunturkan semangat kejayaan masa lalu. Namun, dengan begitu, saya belajar bagaimana cara mengorganisir perasaan-perasaan itu.
Bagaimana tetap berdiri di tengah keraguan dunia.
Yaa.. Arsenal mengajari saya lebih dari yang bisa saya tuliskan dalam catatan ini.
Kalimat itulah yang kini sering saya gaungkan sebagai bentuk dukungan terhadap salah satu klub London Utara yang diarsiteki oleh pelatih luar biasa yang bernama Arsene Wenger.
Saya sendiri tak mengerti mengapa Arsenal menjadi satu-satunya klub sepakbola yang mampu memberikan saya banyak pelajaran, membuat saya mampu menambatkan hati hanya pada satu pilihan, hha.

Siapa yang tak kenal serial kartun Captain Tsubasa?
Ya, dialah tokoh yang berhasil mengajak saya terjun ke dunia yang awalnya terkenal sebagai milik para lelaki.
Masih terekam jelas saat itu, kelas 4 SD, rambut saya dicepak tukung macam Dora the Explorer, saya sempat dijuluki Rohaye. (Ingat TV series yang menceritakan perempuan penggila bola hingga mencukur rambutnya menyerupai Ronaldo bukan CR7 yaa? hhe).
Julukan itu tertancap pada diri saya, sejak pertandingan yangmana saya mampu menyeimbangkan permainan melawan para anak laki yang lebih sering main bola. *hebatnya urang, hhe*
Sliding tackle. Itulah passion yang saya miliki saat itu. Posisi saya selalu menjadi bek, kenapa? karena saya tak ingin gawang tim kebobolan. *kenapa gak sekalian jadi keeper? karena saya gak mau jungkir balik, hha*
Sejak saat itulah aku bersahabat dengan sepakbola..
Namun menginjak SMP, sepakbola seakan menghilang dari kehidupan saya. Selain karena tidak adanya waktu untuk bermain, nampaknya tidak ada juga teman perempuan yang juga menganggap sepakbola itu indah.

Sebuah awal yang tak pernah saya sangka menjadi awal baru dari kisah cinta yang lebih dalam pada sepakbola, hha.
Padahal, awalnya justru saya merasa terganggu dengan event akbar yang satu ini, masih jelas teringat celaan yang pernah saya lontarkan ketika melihat berita jalan "David Villa mencetak hattrick untuk kemenangan Spanyol",
“Aah.. Yang kayak gitu doang diberitain.. Ga penting..”
Tapi tiba-tiba saja, setelah melihat salah satu pertandingan timnas Spanyol, kecintaan saya pada sepakbola kembali muncul. Awalnya memang karena pemain, He is David Villa, pemain yang awalnya saya cela, pemain pertama yang saya kagumi. ckckkc.. *ketulah rupanya.
Apalagi pada tahun pertamanya cinta itu kembali, *asik* Spanyol berhasil memenangi Piala Eropa untuk pertama kalinya sejak 1944. Sungguh, Spanyol tidak mengecewakan cinta saya. Hha
Namun, pada saat itu kemampuan saya dalam bermain bola agaknya menghilang. Parah, titisan Rohaye tak mampu melakukan tendangan pinalti yang tanpa penjaga gawang.

Walaupun pada awalnya saya adalah supporter yang angin-anginan. Masih ingat cedera panjang Cesc, yang sampai empat bulan?
Dalam jeda waktu itu, saya sempat berpaling pada Liverpool, Real Madrid, hingga Manchester United. Bahkan, gilanya lagi, saya sempat membeli kartu 3 yang berhadiah gantungan MU -,-
Entahlah, gantungan itu telah menghilang seiring dengan tumbuhnya kesetiaan saya pada satu klub London Utara, Arsenal FC. :)
Hebatnya lagi, hehe, sejak resmi menjadi supporter setia The Gunners pada 2009, kemampuan sepakbola saya meningkat drastis. Tak bermaksud sombong, hha, saya hampir tak pernah absen mencetak gol ketika bermain. Bedanya dengan masanya SD dulu, kini posisi saya sebagai striker, pertahanan terbaik adalah mencetak gol sebanyak mungkin, hahaha.
Arsenal mengajari saya banyak hal.
Dimana saya harus belajar mengontrol emosi, tetap setia, pantang menyerah, dan banyak lagi.
Namun, yang sangat saya sesalkan adalah masih banyaknya fans Arsenal yang masih sulit untuk mengontrol emosinya. Makian-makian agaknya sering terlontar dari mereka, yang saya khawatirkan, mungkin karena itulah hingga saat ini Arsenal masih dahaga gelar. Bukankah Allah swt. pernah berfirman bahwa apa yang kau ucapkan pada orang lain akan berbalik pada dirimu sendiri.
Ya, mengubah orang lain sangatlah sulit, saya hanya ingin terus berusaha untuk selalu berpikir positif pada klub lain untuk Arsenal. Saya hanya bisa mengatakan, "Apalah gunanya mencela klub lain? Apakah dengan mencela dan memaki mereka itu bisa menaikkan prestasi Arsenal?"
Selain itu, yang paling menyakitkan adalah makian yang terlontar untuk pemain Arsenal sendiri.
"Bagaimana rasanya jika kita berada pada posisinya?" Pasti sakit, ditusuk oleh keluarga sendiri.
Sungguh, satu-satunya yang mereka butuhkan adalah kepercayaan dari fans, bukan malah makian. Bukankah lebih indah jika menggunakan kata-kata penyemangat dibandingkan dengan makian-makian kotor?
Ada saatnya mereka jatuh, maka bersabarlah. Biar bagaimanapun, mereka mencintai Arsenal. Bahkan, mungkin lebih dari cinta kita pada Arsenal, The Pride of London and The pride will never subside.
Arsenal jugalah yang membuat saya berani bukan hanya bermimpi. Ya, mengunjungi stadion kebanggaan seantero Gooner/ettes di seluruh dunia, Emirates Stadium, merupakan cita-cita terbesar saya selain melanjutkan studi di Perancis.
Saya juga belajar bagaimana untuk setia dan sabar, terlebih saat Arsenal benar-benar diguncang. Kekalahan, draw, seakan melunturkan semangat kejayaan masa lalu. Namun, dengan begitu, saya belajar bagaimana cara mengorganisir perasaan-perasaan itu.
Bagaimana tetap berdiri di tengah keraguan dunia.
Yaa.. Arsenal mengajari saya lebih dari yang bisa saya tuliskan dalam catatan ini.
Komentar
Posting Komentar