Perkembangan Filsafat Yunani Kuno Pra-Socrates
Pada perkembangan filsafat Yunani Kuno, terdapat dua corak pemikiran, yaitu pemikiran pra-Socrates dan Socrates. Perbedaankedua pemikiran tersebut terletak pada objek pemikirannya, yaitu, pada masa pra-Socrates, objek pemikirannya terfokus pada alam semesta, sedangkan pada masa Socrates, objek pemikirannya adalahkehidupan manusia.
Dengan objek alam semesta, para filosof pra Socrates tergolong pada filosof alam. Mereka berpikir secara radikal dan rasional untuk menggali misteri-misteri yang tersimpan di alam semesta ini. Pemikir – pemikir pada masa pra-Socrates, antara lain :
· Thales ( + 625 – 545 SM)
Thales berpendapat bahwa prinsip dasar alam semesta ini adalah air. Hal itu didasari oleh pemikirannya yang menganggap bahwa semua makhluk hidup membutuhkan air untuk bertahan hidup dan juga bahan makanannya yang mengandung air. Selain itu, air juga bisa berubah menjadi tiga keadaan yaitu padat, cair, dan gas tanpa mengubah volume awalnya. Oleh karena itu, Thales berpendapat bahwa substansi dasar yang membentuk alam semesta ini adalah air. Ia juga mengemukakan pendapatnya yang beranggapan bahwa bumi terletak di atas air sebagai bahan yang semula keluar dari air dan kemudian terapung-apung di atasnya.
Pendapat Thales lainnya yaitu pandangan bahwa segala sesuatu di jagad raya ini memiliki jiwa. Anggapan ini didasarkan pada magnet yang dikatakan memiliki jiwa karena mampu menggerakkan besi.
· Anaximandros/Anaximander ( + 610 – 547 SM)
Berbeda dengan pendapat gurunya, Thales, Anaximandros beranggapan bahwa prinsip dasar segala sesuatu adalah to apeiron atau tidak terbatas. Ia beranggapan bahwa apabila prinsip dasar itu berasal dari suatu zat yang empiris, seperti air, maka air tersebut seharusnya terdapat dalam segala sesuatu, sedangkan seperti kita ketahui air dan api saling berlawanan, sehingga air pasti tidak terdapat di dalam api. Oleh karena itu, menurutnya tidak mungkin mencari prinsip dasar tersebut dari zat yang empiris, prinsip dasar itu haruslah merupakan sesuatu yang tidak dapat diamati oleh panca indera, bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan, dan meliputi segala sesuatu.
Ia juga menyatakan bahwa bumi berbentuk silinder yang lebarnya tiga kali lebih besar dari tingginya. Kestabilan bumi dikarenakan oleh kedudukannya yang berada di pusat jagad raya dengan jarak yang sama dengan benda langit lainnya.
· Anaximenes
Anaximenes beranggapan bahwa unsur dasar alam semesta ini adalah udara. Tidak seperti air yang tidak terdapat pada api, udara merupakan zat yang terdapat dalam segala sesuatu. Pembentukan alam semesta menurut Anaximenes berasal dari pemadatan dan pengenceran udara. Ketika udara memadat, maka secara berturut-turut munculah angin, air, tanah, dan akhirnya batu, sedangkan ketika mengalami pengenceran, maka munculah api. Ia juga menganggap jiwa manusia sebagai kumpulan udara karena untuk tetap hidup, manusia perlu bernafas dengan udara.
Pendapat Anaximenes lainnya yaitu bumi merupakan meja bundar yang melayang di atas udara. Dikatakan pula olehnya bahwa benda-benda langit, seperti, bulan, bintang, dan matahari juga melayang di udara dan mengelilingi bumi, sehingga ketika bintang, bulan, atau matahari tidak terlihat, itu disebabkan karena mereka tersembunyi di belakang bagian-bagian tinggi dari bumi ketika mereka mengelilingi bumi.
· Pythagoras ( + 582 – 496 SM)
Pythagoras merupakan seorang ahli matematika dan berhitung, sehingga ia percaya bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berhubungan dengan matematika dan beranggapan bahwa segala hal dapat diukur dan dinyatakan dalam perbandingan bilangan.
· Xenophanes ( + 570 – 480 SM)
Dalam filsfatnya, ia menegaskan konsep Tuhan yang bersifat kekal, Esa, dan universal. Ia membantah antropomorfisme dewa-dewi atau penggambaran dewa-dewi dalam rupa manusia.
Xenophanes juga berpendapat bahwa matahari berjalan terus dalam gerak lurus, dan yang terbit setiap pagi adalah matahari baru. Ia menganggap bahwa gerhana disebabkan matahari jatuh ke dalam lubang.
· Herakleitos ( + 570-480 SM)
Menurut Herakleitos, tidak ada satupun hal di alam semesta ini yang bersifat tetap, semuanya mengalir dan berada dalam proses ‘menjadi’. Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti, "semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap."
Selain penggambarannya dengan menggunakan aliran sungai yang mengalir, ia juga menggambarkan keseluruhan perubahan yang tiada henti dengan api. Menurut Herakleitos, api melambangkan gerak perubahan. Api bisa mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama.
· Parmenides ( + 540 – 470 SM)
Parmenides mengemukakan bahwa hanya ‘yang ada’ itu ada. Menurut Parmenides, ‘yang ada’ itu bersifat meliputi segala sesuatu, tidak bergerak, tidak berubah, dan tidak terhancurkan. Selain itu, ‘yang ada’ itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat disangkal. Oleh karena ‘yang ada’ merupakan kebenaran yang tidak mungkin disangkal, ketika ada yang menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi. Ketika seseorang mengatakan sesuatu itu ‘tidak ada’, maka sebenarnya ia telah terlebih dulu memikirkan konsep sesuatu itu. Barulah setelah itu, konsep sesuatu yang ia pikirkan, ia sanggah oleh dirinya sendiri dengan mengatakan sesuatu itu ‘tidak ada’.
· Anaxagoras ( + 500 – 428 SM)
Anaxagoras menyatakan bahwa alam semesta ini tersusun atas “benih-benih” yang jumlahnya tak terhingga. Menurutnya, semua hal di alam semesta ini tersusun dari benih-benih tersebut dalam jumlah tertentu, dan manusia hanya mampu melihat benih yang dominan dalam benda tersebut. Misalnya, ketika manusia melihat emas, maka yang ia lihat adalah benih emas, meskipun pada kenyataannya dalam benda tersebut terdapat benih tembaga, perak, dan lain-lain. Hanya saja, jumlah benih-benih tersebut tidak dominan, sehingga tidak dapat terlihat oleh manusia.
Ia juga mengatakan bahwa ada suatu prinsip yang dinamakan nous, yang mendorong perubahan-perubahan dari benih-benih tersebut. Nous berarti roh atau rasio, dikatakan olehnya bahwa nous tidak tercampur dengan benih-benih dan terpisah dari semua benda, namun menjadi prinsip yang mengatur segala sesuatu.
· Empedokles ( + 495 - 435 SM)
Empedokles beranggapan bahwa prinsip dasar yang ada di alam semesta ini tidaklah tunggal, melainkan terdiri dari empat zat, yaitu air, api, udara, dan tanah. Zat-zat itu sendiri juga tidak berubah, sehingga, misalnya tanah tidak dapat berubah menjadi air. Ia juga menyatakan bahwa semua benda yang ada di alam semesta ini tersusun dari keempat zat tersebut, namun dengan komposisi yang berbeda-beda.
Empedokles berpendapat bahwa suatu benda dapat berubah dikarenakan oleh perubahan zat-zat tersebut, dan menurutnya, ada dua prinsip yang mengatur perubahan tersebut, yaitu cinta dan benci. Cinta berfungsi untuk menggabungkan zat-zat tersebut, sedangkan benci berfungsi untuk menceraikannya.
· Democritus ( + 460-370 SM)
Bersama gurunya, Leukippos, Democritus berpendapat bahwa atom merupakan unsur pembentuk realita di alam semesta ini. Berbeda halnya dengan pemikiran Empedokles dan Anaxagoras, Democritus menganggap unsur-unsur tersebut tidak dapat dibagi lagi. Oleh karena itu, unsur-unsur tersebut diberi nama atom atau tidak terbagi-bagi.
Democritus juga menyatakan bahwa “prinsip dasar alam semesta adalah atom-atom dan kekosongan”, sehingga ketika ada ruang kosong, maka atom-atom dapat bergerak. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa atom merupakan sesuatu yang tak dapat dimusnahkan dan tak dapat dirubah, sehingga yang terjadi pada atom adalah gerakan.
Sumber :
Barnes, Jonathan. 2001. Early Greek Philosophy. London: Penguin.
Bertens, Kees. 1990. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.
Wiramihardja, Sutardjo. 2009. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama.
Komentar
Posting Komentar